“ADEK nggak mau makan, Adek maunya nonton TV...,” rengek Roni (3 tahun) kepada Ibundanya. “Tapi Adek harus makan, nanti kalau Adek nggak mau makan bisa sakit lho! Ayo, Dek makan...” bujuk Bunda. Menghadapi si kecil memang susah-susah gampang, apalagi bila dia tipikal anak yang suka berontak. Apa ya, solusinya?
Karakter Anak
Musti Moms pahami, anak berusia 1 - 3 tahun telah melewati masa-masa yang tidak sebentar. Sejak bayi, faktor genetik (turunan), pola pengasuhan orangtua dan lingkungan sangat memengaruhi terbentuknya karakter anak di kemudian hari.
Salah satunya, apakah dia tipikal anak mudah (easy child) atau sulit (difficult). Bila dia tipikal anak mudah, sekali diberitahu langsung nurut. Sebaliknya, tipikal anak sulit belum tentu menuruti apa keinginan atau nasehat dari orangtuanya. Tidak heran, dalam satu keluarga, tipikal anak satu dengan lainnya berbeda.
Ingin Mandiri
Nah, ketika memasuki usia 1 tahun ke atas anak ingin mencoba menjadi dirinya sendiri, terpisah dari orang-orang sekitarnya termasuk kedua orangtuanya. Bisa dibilang, mereka telah masuk ke tahap perkembangan psikososial atau masa otonomi. Dia ingin beda! Tidak seperti saat masih bayi yang mudah diatur. Jangan heran, bila Moms or Dads mengatakan A, dia menjawab B atau sebaliknya, yang terkadang bikin kesal orangtuanya. Bahkan ada anak yang sangat sulit bila diberitahu oleh orangtuanya. Mungkin ini akibat kedekatan atau 'keintiman' anak dengan Moms or Dads tidak terlalu bagus. Makanya, dia suka uring-uringan. Padahal, usia 1 tahun ke atas adalah masa dimana dia belajar untuk mandiri.
Namun, terbentur masalah unsecure seperti tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya, atau sejak bayi sudah terpisah dari kedua orangtuanya mungkin juga tidak disusui ketika masih bayi bisa dibilang orangtua menjaga jarak dengan bayinya. Sehingga, hubungan anak dengan Moms or Dads menjadi asing alias tidak 'hangat.' Maka, terjadi penolakan anak terhadap Moms or Dads. Biasanya, anak tidak nurut bila diatur atau dinasehati oleh Moms or Dads. Sebaliknya, anak yang sudah merasa nyaman dalam hubungannya dengan kedua orangtuanya, akan lebih mudah dibimbing.
Ingin Menunjukkan Jati Diri
Orangtua juga sebaiknya mengerti bahwa terkadang seorang anak batita bersikap "pemberontak" karena ingin menunjukkan jati dirinya. Kata memberontak ini dalam tanda kutip, karena ia sebenarnya bukan untuk memberontak, hanya ingin membuktikan kemampuannya semata.
Pada usia 3 tahun ke atas, seorang anak sudah mampu melakukan berbagai hal. Ia sudah mampu mengoordinasikan anggota tubuhnya dengan baik, dan mampu mengungkapkan beberapa kalimat.
Oleh karena itu, misalnya bila ia diingatkan untuk tidak mematahkan lipstik Mama, justru dia sengaja mematahkannya. Sikapnya ini, karena dia ingin menunjukkan kemampuannya.
Apalagi, bila ia sudah mempunyai seorang adik. Sikapnya ini menjadi salah satu pembuktian diri bahwa dia telah bisa melakukan lebih banyak dari adiknya yang masih bayi. Dia akan melakukan berbagai hal untuk menunjukkan bahwa dia lebih mampu dibanding adiknya yang masih harus berbaring dan tidur, mengingat orangtua kadang ‘melupakan’ si Kakak, setelah si Adik lahir.
Faktor ingin menunjukkan jati dirinya, utamanya pada orangtua, mungkin salah satu penyebab sikap anak jadi berbeda dibandingkan sikapnya pada orang lain. Sangat disarankan, Moms jangan langsung mencap dia sebagai anak nakal atau pemberontak, karena sikapnya ini hanya sementara dan akan hilang dengan sendirinya, saat ia beranjak besar nantinya.
Harus Bagaimana?
Bila mungkin ada sebagian orangtua yang harus tinggal terpisah dengan buah hatinya, jangan putus asa! Masih ada harapan untuk memperbaiki hubungan atau relasi orangtua dengan anak.
Jauh lebih baik dilakukan sedini mungkin, sebelum si kecil masuk usia sekolah. Langkah pertama, segeralah mengoreksi kekeliruan Moms or Dads sebelumnya. Setelah menyadari kekeliruan yang pernah Moms or Dads lakukan, kedua pahami keadaan anak. Ketiga, Moms or Dads berusaha belajar komunikasi efektif kepada si kecil. Misalnya, si kecil ingin main sepeda dan bilang “aku mau main sepeda di luar” padahal kondisi di luar panas dan sepi.
Begitu mendengar permintaan si kecil ada orangtua yang keukeuh mengatakan, “Ihsan harus tidur!” atau menakut-nakuti dengan mengatakan, “awas lho! Nanti ditangkap polisi!” Padahal ini adalah cara yang tidak benar dan irrasional.
Nah, berikan komunikasi yang efektif kepada si kecil, seperti, “Bunda tahu Ihsan mau main sepeda di luar, sepedanya bagus (Moms bisa mulai mendongeng). Sepedanya bilang, Mas Ihsan bobo dulu ya. Gimana kalau main sepedanya nanti jam 4 sore?”
Pada dasarnya, orangtua mengakui bahwa anaknya memang kepengen main sepeda. Bila ajakan Moms di atas belum bisa membuatnya pergi ke peraduan. Bisa Moms gunakan kalimat seperti, “Gimana kalau kita nonton TV aja yuk, atau Bunda ceritain buku cerita, atau kita perang-perangan di bawah selimut?” So, cara ini menawarkan opsi/ pilihan kegiatan kepada si kecil. Memang, perilaku naik sepeda bukan sesuatu yang salah, hanya bukan pada saat yang tepat. Moms bisa katakan, “Bolehkah nanti jam 4 atau 4.30 sore Bunda nemenin Ihsan main sepeda? Kita main sepeda selama satu jam. Bunda naik sepeda yang besar, sedangkan, Ihsan naik sepeda yang kecil, gimana?”.
Tapi itu semua butuh kesabaran. Bisa saja si anak menawar, “em...em...em...” Apalagi punya anak perempuan yang kemampuan verbalnya sudah lancar seperti mengucapkan, “tapikan...tapikan...tapikan...” Mau tidak mau, Moms memang harus meladeni. Yang perlu diingat, ini semua butuh kesabaran dan waktu yang tidak sebentar.
Bagi orangtua yang tidak sabar bisa saja bicaram “ya sudah kalau gak tidur Bunda kurung aja sepedanya di kamar mandi!” atau “sepedanya dibuang saja biar kamu tidak main sepeda!” Itu justru cara-cara yang salah. Bisa jadi, sekali itu anak memang menurut alias cara tersebut ‘tokcer’, namun itu bukanlah cara yang bisa dibenarkan. Jadi, jangan putus asa ya, Moms.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar